Adi Cahaya

Belajar Bahasa dan Sastra

LightBlog

Breaking

Thursday 4 October 2018

Makalah hukum perlombaan dengan memungut uang dan perlombaan adu hewan



HUKUM PERLOMBAAN DENGAN MEMUNGUT UANG
DAN PERLOMBAAN ADU HEWAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: ke Islam dan Ma-an
Dosen Pengampu: Fawwaz Fadzurrohman, mpd















Disusun Oleh:
Nelly Umamah            : 113111075
Taopik                  :
Ahmad Baihaqi                 :

FKIP
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR
BANTEN
2017
 PENDAHULUAN
Perlombaan dalam bahasa Arab disebut dengan musabaqah. Perlombaan termasuk dalam kategori olahraga yang terpuji. Sebagai ajang kompetisi dalam kebaikan (QS. Al-Baqarah:148, Al-Maidah:48). Sedangkan hukumnya berubah-ubah, bisa sunnah, mubah, bisa pula haram, tergantung pada niatnya dan bagaimana teknis pelaksanaannya. Namun dewasa ini, perkembangan perlombaan yang ada telah mengalami pergeseran dari nilai-nilai Syar’i. Seperti misalnya; lomba dengan memungut iuran ataupun lomba dengan menggunakan binatang untuk di adu.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas mengenai permasalahan perlombaan-perlombaan yang terjadi di kalangan masyarakat tersebut, sekiranya permasalahan yang ada mampu kita siasati bersama menggunakan perspektif agama.
Harapannya, dengan adanya pembahasan ini, nantinya kita semakin tahu, selalu waspada dan mampu membedakan mana jenis perlombaan yang dilarang secara syar’i maupun yang diperbolehkan, serta mampu mengatasi persoalan yang timbul dan berkembang di kalangan masyarakat tersebut.

RUMUSAN MASALAH
Bagaiman Hukum Lomba Dengan Memungut Uang?
Bagaimana Hukum Lomba Adu Hewan?

PEMBAHASAN
Hukum Lomba Dengan Memungut Uang
Pada zaman sekarang ini banyak masyarakat yang mengadakan jenis perlombaan, khususnya lomba-lomba pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, seolah sudah menjadi suatu keharusan untuk dilakukan. Namun yang jadi permasalahan, perlombaan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat sekarang ini sering kali banyak yang tidak sesuai dengan syari’at Islam, untuk itu kami ingin meluruskan yang terjadi di masyarakat menggunakan sudut pandang syariat Islam.

Ada di suatu daerah mengadakan perlombaan yang hadiahnya diambilkan dari iuran uang warga daerah setempat. Menyikapi hal itu, lalu bagaimanakah hukumnya?
Apabila hadiah diambilkan dari iuran peserta lomba, maka pastilah hukumnya haram. Karena cara semacam ini termasuk maisir atau Qimar (judi) atau totoan, baik perlombaan berupa lomba lari, lomba sepeda, dan lain-lain.
Jika teknis pelaksanaan lomba semacam itu, maka pada hakikatnya pihak panitia lomba itu sama halnya dengan menyelenggarakan sebuah arena perjudian, sebab hadiah yang disediakan semata-mata diambil dari kontribusi peserta. Misalnya dibuka pendaftaran, siapa yang mengikuti perlombaan membayar sebesar Rp. 10.000,- uang dari hasil pendaftaran tersebut dibuat hadiah untuk diberikan kepada si pemenang. Maka cara seperti ini haram. Akan tetapi, bila hadiah didapat dari iuran masyarakat daerah setempat atau dari orang lain “selain peserta lomba”, maka hukumnya halal.            
Jadi pada intinya, jika uang iuran pendaftaran para peserta lomba itu dijadikan untuk hadiah para pemenang, maka hukumnya haram, karena hal ini sama halnya transaksi perjudian.  

Berikut uraian tendensi secara fiqhiyyah :
وَإِنْ أَخْرَجَاهُ أَيِ الْعِوَضَ الْمُتَسَابِقَانِ مَعًا لَمْ يَجُزْ ... وَهُوَ أَيِ الْقِمَارُ الْمُحَرَّمُ كُلُّ لَعْبٍ تَرَدَّدَ بَيْنَ غَنَمِ وَ غَرَمٍ. (الباجوري على فتح القريبhlm. 31. )

Dan jika kedua pihak yang berlomba itu mengeluarkan taruhan secara serentak, maka tidak boleh, dan itu termasuk judi yang diharamkan, yakni semua permainan yang berkutat antara meraup (memperoleh) dan nihil (tidak memperoleh sama sekali).[1]

(كُلُّ مَا فِيْهِ قِمَارٌ) وَ صُوْرَتُهُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهَا أَنْ يَخْرُجَ الْعِوَضُ مِنَ الْجَانَبِيْنَ مَعَ تَكَافُئِهِمَا وَهُوَ الْمُرادُ مِنَ الْمَيْسِرِ فِيْ الْاَيَةِ. وَوَجْهُ حُرْمَتِهِ أَنْ كُلَّ وَاحِدٍ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَغْلِبَ صَاحِبَهُ فَيَغْنَمَ. فَإِنْ يَنْفَرِدْ اللاَّعِبَانِ بِإِخْرَجِ الْعِوَضِ لِيَأْخُذَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مَغْلُوْبًا وَعَكْسُهُ إِنْ كَانَ غَالِبًا فَالْأَصَحُّ حُرْمَتُهُ أَيْضًا. (إسعاد الرفيق شرح سلم التوفيقhlm. 102. )

Bentuk judi yang disepakati adalah keluarnya taruhan dari dua pihak yang setara dan itulah yang dimaksud dengan al-maisir  (QS. Al Maidah : 90). Alasan keharamannya adalah, masing-masing dari kedua belah pihak tersebut berkutat antara mengalahkan pihak lawan dan meraup (keuntungan). Jika yang mengeluarkan taruhan hanya satu pihak dan boleh diambil jika ia kalah ataupun sebaliknya jika ia menang, maka menurut pendapat yang shahih adalah haram juga.[2]

وَيَجُوْزُ شَرْطُ الْعِوَضِ مِنْ غَيْرِ الْمُتَسَابِقَيْنِ مِنَ الْإِمَامِ أَوِ الْأَجْنَبِيِّ كَأَنْ يَقُوْلَ الْإِمَامُ مَنْ سَبَقَ مِنْكُمَا فَلَهُ عَلَيَّ كَذَا مِنْ مَالِيْ, أَوْ فَلَهُ بَيْتِ الْمَالِ كَذَا, وكَأَنْ يَقُوْلَ الْأَجْنَبِيُّ: مَنْ سَبَقَ مِنْكُمَا فَلَهُ عَلَيَّ كَذَا, لِأَنَّهُ بَذْلُ مَالٍ فِيْ طَاعَةٍ وَ لَيْسَ لِمُلْتَزِمِ الْعِوَضِ. (الباجوري على فتح القريبhlm. 10. ‌)

Dan syarat adanya taruhan yang dikeluarkan bukan oleh pihak yang berlomba, seperti imam (penguasa) ataupun pihak lain. Hal ini seperti imam/penguasa itu berkata, siapa yang keluar sebagai pemenang dari kalian, maka aku akan memberikan sekian dari uangku, atau memperoleh sejumlah sekian dari kas Negara. Demikian halnya seperti seandainya pihak lain tersebut berkata, siapa yang keluar sebagai pemenang dari kalian, maka aku akan memberikan uang sejumlah sekian. Hal ini, karena uang yang akan diberikan itu merupakan uang pemberian dalam ketaatan dan pihak penerima bukan yang harus mengeluarkan taruhan.[3]

Praktek lomba dengan cara memungut uang pada masyarakat kita kini tidak hanya sebatas itu saja. Namun juga merambah pada aspek-aspek yang lain. Seperti misalnya pada pertandingan sepak bola hingga bahkan perlombaan (secara online) yang berkembang pada dunia maya.

Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 90-91:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ)ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#urãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ $yJ¯RÎ) ß‰ƒÌãƒ ß`»sÜø‹¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$#uä!$ŸÒøót7ø9$#ur Îû Ì÷Ksƒø:$#ÎŽÅ£÷yJø9$#ur öNä.£‰ÝÁtƒur `tã Ìø.ÏŒ «!$#Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr&tbqåktJZB ÇÒÊÈ
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah 90-91)

Bentuk judi yang disepakati adalah keluarnya taruhan dari dua belah pihak yang setara dan itulah yang dimaksud dengan maisir  dalam surat Al.Maidah ayat 90-91. Dan maksud dari judi itu juga bisa menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian antara pelaku dan menyebabkan mereka lupa kepada Allah SWT serta lalai dari kewajiban-kewajiban agama.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. bersabda:
اَلْخَيْلُ ثَلَاثَةٌ فَرَسٌ لِلْرَّحْمَنِ وَفَرَسٌ لِلْأِ نْسَا نِ وَفَرَسٌ لِلشَّيْطَانِ فَاَمَّا فَرَسٌ الرَّحْمَنِ فَالَّذي يُرْتَبَطُ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَعَلَفَهُ وَرَوْسَهُ وَبَوُلُهُ (وَذَكَرَ...) مَاشَاءَ اللهُ وَاَمَّا فَرَسٌ اَلشَّيْطَانِ فَالَّذِي يُقَامَرُ أَوُيُرَاهَنُ عَلَيْهِ وَاَمَّا فَرَسٌ اللإِنْسَانِ فَالَّذِي يَرْتَبِطُهُ الاِنْسَانُ يَلْتَمِسُ بَطُنَهَا فَهِيَ سِتَرٌ مِن الْغَقْرِ

Artinya: “Kuda itu ada tiga macam; kuda untuk Allah Yang Maha Rahman, kuda untuk manusia dan kuda untuk syaitan. Kuda untuk Allah adalah kuda yang ditambatkan di jalan Allah, maka makanannya, kotorannya, kencingnya, semua itu adalah pahalanya menurut apa yang dikehendaki Allah. Adapun kuda untuk syaitan adalah kuda yang dipergunakan untuk bertaruh atau judi dan kuda untuk manusia adalah kuda yang diikat oleh manusia, yang digunakan untuk bekerja untuk menutupi kebutuhannya.[4]

Terdapat juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah bersabda:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا سَبَقَ إلَّا فِى خُفٍّ أَوْ نَصْلٍ أَوْ حَافِرٍ. رواه أحمد والثلاثة وصححه ابن حبان.[5]

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada hadiah untuk  perlombaan melainkan pada pelombaan unta, panah atau kuda”. (HR. Ahmad dan Imam yang tiga, dan disahkan oleh Ibnu Hibban).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslil dari Uqbah bin Amr berkata:

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقْرَأُ : وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْهُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ. الاَيَةَ. أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ , أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الَّرمْىُ , أَلَا إِنَّ الْقُوُّةَ الرَّمْىُ. رواه مسلم.[6]


Artinya: Dari Uqbah bin Amir r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW sedang beliau di atas mimbar, membaca: “Hendaklah kalian sediakan untuk mereka (musuh), sedapat mungkin dari kekuatan yang mengendarai kuda”. Al-ayah: “Ingatlah bahwa kekuatan itu ialah melempar (tombak atau panah), ingatlah bahwa kekuatan itu ialah melempar, ingatlah bahwa kekuatan itu ialah melempar (menembak)”. (HR. Muslim)

Dalam hadits diatas ini menjadi dalil bahwa umat Islam disuruh belajar (berlatih) menjalankan alat peperangan dan membiasakannya. Apalagi menembak dengan anak panah berguna sekali sebagai gerak badan.[7]

Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa pertaruhan yang diharamkan oleh para ulama adalah pertaruhan yang apabila salah seorang (satu pihak) yang bertaruh menang memperoleh hadiah (taruhan) itu, sedangkan apabila dia kalah, dia berhutang kepada temannya. Kejadian seperti ini diharamkan karena dianggap termasuk perjudian yang jelas-jelas diharamkan oleh ajaran Islam.[8]

Berdasarkan sabda Nabi SAW. :
مَنْ اَذْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَقَدْ اَمِنَ اَنْ يَسْبِقُهَا فَهُوَ قِمَارٌ, وَاِنْ لَمْ يَأْمَنْ اَنْ يَسْبِقَ فَلَيْسَ بِقِمَارٍ. ( رواه أحمد وأبو داود) [9]

Artinya: Dari Nabi SAW beliau bersabda: “barangsiapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua ekor kuda dan ia tidak aman kalau didahului, maka tidak apa, dan kalau ia merasa tertram maka itu adalah taruhan”.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

 Di dalam kitab-kitab fiqih ada pembahasan perlombaan namun yang dimaksud adalah Musabaqoh, persisnya yang diperbolehkan dengan Iwadl (hadiah) hanyalah berupa, lomba lari naik kuda, dan memanah. Dan apabila semua peserta lomba iuran, maka harus ada muhallil artinya ada satu orang yang tidak ikut iuran.
Motif dijadikannya muhallil adalah untuk mengeluarkan suatu masalah (perlombaan) agar tidak menyerupai perjudian. Sebab, jika dua orang peserta atau lebih membayar uang, setiap peserta akan mengharapkan dapat memperoleh keuntungan dan khawatir mengalami kerugian, dan inilah memang keadaan para penjudi. Namun, jika ada salah seorang masuk di antara mereka berdua untuk ikut serta dalam perlomabaan, di mana orang yang baru masuk itu tidak membayar taruhan sedikit pun, bentuk perlombaan seperti ini akan jauh dari bentuk perjudian.
 Oleh karena itu, madarat dan akibat jelek yang ditimbulkan oleh tersebarluasnya taruhan dan perjudian dalam masyarakat, jauh lebih besar.[10]
Seratus ulama Jawa Barat yang tergabung dalam forum Silaturahmi ulama dan cendekiawan Jabar pada akhir April 1986, dengan tegas juga menyatakan perlombaan yang meminta iuran sebagai judi dan haram hukumnya. Demikian pula beberapa Majelis Ulama Indonesia Daerah dan beberapa pemerintah daerrah menyampaikan keberatan, kritik, dan keprihatinannya terhadap akibat-akibat negative yang timbul karena masalah tersebut.
Muhammad Abduh sebagaiman dikutip oleh Rasyid Ridha, menerangkan sebagian resiko atau bahaya perjudian, ialah merusak pendidikan dan akhlak, melemahkan potensi akal pikiran, dan menelantarkan pertanian, perkebunan, industri, dan perdagangan yang merupakan sendi-sendi kemakmuran.[11]
Oleh karena itu, perjudian itu dalah jika ada dua orang atau lebih yang saling berlomba, lalu setiap perserta lomba tersebut mengeluarkan sesuatu sebagai gantinya sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi. Dan juga ada cara lain yang dapat mengaluarkan kita dari cara yang menyerupai perjudian adalah dengan beberapa kategori yang sudah disebutkan di atas.
Solusi yang ditawarkan untuk penyelenggaraan lomba berhadiah adalah:
Uang pendaftaran tidak menjadi hadiah.
Hadiah diperoleh dari sumber lain (sponsor).
Jenis yang dilombakan tidak termasuk dalam larangan syariat seperti keterampilan dalam perang, jalan cepat, memanah, menembak, balap kuda, dll.[12]


Hukum Lomba Adu Hewan
Uraian tendensi secara fiqhiyyah :

"كِتَابُ الْمُتَسَابَقَةِ وَ الْمُنَاضَلَةِ" هُمَا سُنَّةٌ وَيَحِلُّ أَخْذُ عِوَضِ عَلَيْهِمَا, وَتَصِحُّ الْمُنَاضَلَةِ عَلَى سِهَامٍ وَكَذَا مَزَارِيْقُ وَرِمَاحٌ وَرَمْيٌ بِأَحْجَارٍ وَمَنْجَنِيْقٍ وَ كُلُّ نَافِعٍ فِيْ الْحَرْبِ عَلَى الْمَذْهَبِ. (مغني المحتاج شرح منهاج الطالبينhlm. 311. )

Lomba lari dan lomba memanah, keduanya sunnah dan boleh mengambil taruhan pada keduanya. Lomba memanah itu sah menurut madzhab Syafi’i, demikian pula lempar tombak, lembing, batu dan manjanik serta semua yang bermanfaat dalam peperangan.[13]
Ulama Syafi’iyah meluaskan bentuk perlombaan yang diperbolehkan dengan taruhan adalah lomba yang berguna dalam berperang jihad. Adapun lomba adu binatang seperti ayam, burung dan domba tidak termasuk dalam hal yang berguna dalam perang sehingga tidak diperbolehkan taruhan di dalamnya.
Pada hakikatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah ayat 13:
t¤‚yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ÎûÇÚöF{$# $Yè‹ÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÊÌÈ

Artinya:  Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.(QS. Al-Jatsiyah: 13)

Ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini (terrmasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga.
Penundukan langit dan bumi dipahami dalam arti semua bagian-bagian alam yang terjangkau dan berjalan atas dasar satu sistem yang pasti, kait terkait dan dalam bentuk konsisten. Allah swt. menetapkan hal tersebut dan dari saat ke saat mengilhami manusia tentang pengetahuan fenomena alam yang dapat mereka manfaatkan untuk kemaslahatan dan kenyamanan hidup manusia. [14]

Termasuk kategori yang menganiaya binatang adalah mengadukan binatang, seperti mengadu domba, mengadu ayam, mengadu kerbau, dan yang lain-lainnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud abbas r.a. berkata:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّحْرِيْشِ بَيْنَ الْبَهَائِمَ  . رواه الترمذي وأبو داود .

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: “Rasulullah SAW. melarang mengadu di antara binatang-binatang.” (HR. Tirmizi dan Abu Daud)

Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dilarang bukan hanya hewan, tetapi semua yang mempunyai ruh (nyawa) sdilarang untuk dijadikan sasaran sebagaiman Ibnu Abbas r.a. berkata:
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيْهِ الرُّوْحُ غَرَضًا. رواه مسلم.[15]

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian membuat bulan-bulanan (sasaran dalam latihan menembak atau memanah) dengan makhluk bernyawa”. (HR. Muslim)

Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBuruä!$yr& $pköŽn=yèsù ( §NèO 4n<Î)óOä3În/u šcqãèy_öè? ÇÊÎÈ
Artinya:  Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, Kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.(QS. Al-Jatsiyah:15)
                                  
Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis : Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan ; Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan; Melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata.
Menyangkut hewan atau satwa peliharaan, Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl menyebutkan beberapa jalan di mana hewan-hewan memberi manfaat kepada manusia:
a)
zO»yè÷RF{$#ur $ygs)n=yz 3 öNà6s9 $ygŠÏùÖäô$ÏŠ ßìÏÿ»oYtBur $yg÷YÏBur tbqè=à2ù's?ÇÎÈ
Artinya: “Dan Dia elah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan”. (Q.S. Al-Nahl: 5)


Allah SWT. telah menciptakan binatang-binatang ternak bagi kalian, seperti unta, sapi, dan kambing. Dia menjadikan bulu-bulu wol domba dan bulu hewan lainnya sebagai penghangat bagi kalian ketika cuaca dingin. Kalian juga bisa mengambil manfaat lain dari kulitnya, menyantap dagingnya, dan menunggangnya.[16]

Dalam sebuah kitab Fiqh Sunnah menyatakan bahwa:
وَإِذَا كاَنَ الحيوانَ حُلُوبًا وَلَهُ وَلَدٌ فَلاَ يَجُوْزُ الآخَذُ مِنَ اللَّبَنِ إلَّا بِاْلقَدَرِ الّذِي لاَ يَضُرُّ وَلَدِهِ , لِآنَّهُ لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ فِي الإِسْلاَمِ لاَ لِحَيَوَانٍ وَلَا لِإِنْسَانٍ. [17]

Ketika ada hewan yang sedang melahirkan, maka dilarang mengambil air susunya kecuali dengan  kemungkinkan yang tidak membahayakan anaknya. Karena dalam Islam mengajarkan dalam tersebut tidak adanya bahaya dan tidak adanya sesuatu yang membahayakan ( untuk hewan dan manusia).

b)
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0ħàÿRF{$# 4 žcÎ) öNä3­/u Ô$râäts9ÒO‹Ïm§‘ ÇÐÈ
Artinya: “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Nahl: 7)

Allah SWT. telah menundukkan bagi kalian hewan-hewan tunggangan untuk membawa barang-barang perbekalan kalian sampai ke negeri-negeri yang jauh, yang mana kalian tanpa hewan tunggangan itu tidak akan mampu sampai ke sana dengan membawa barang tersebut kecuali dengan keletihan dan kepayahan.
Rabb kalian itu Maha Penyayang kepada kalian dan mengasihi orang-orang yang lemah maka ditundukkan-Nya bagi kalian segala hal yang bisa membantu kalian. Dengan kelembutan-Nya Dia mendatangkan manfaat bagi kalian, dan dengan kasih sayang-Nya Dia menghilangkan kesulitan bagi kalian.[18]

c)
Ÿsƒø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur uŽÏJysø9$#ur$ydqç6Ÿ2÷ŽtIÏ9 ZpuZƒÎ—ur 4 ß,è=øƒsur $tB ŸwtbqßJn=÷ès? ÇÑÈ

Artinya:“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal (peranakan kuda) dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (Q.S. Al-Nahl: 8)

Lebih jelasnya bahwa Allah swt. telah menciptakan kuda, bagal, dan keledai untuk manusia baik sebagai kendaraan maupun sebagai hiasan, dan Allah swt. juga telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu ketahui.

Mari kita pertimbangkan implikasi kutipan ayat-ayat di atas. Dalam hubungannya dengan ayat (a), kita harus memperhatikan bahwa kulit dan bulu binatang ternak boleh dimanfaatkan. Namun, Nabi Muhammad saw., melarang penggunaan kulit binatang liar walaupun sekedar untuk alas lantai. Jika aturan ini ditaati oleh semua orang, maka pembunuhan sia-sia terhadap beberapa jenis binatang liar demi meraih keuntungan semata niscaya tidak terjadi lagi. Demikian pula, kendati umat islam diperbolehkan mengkonsumsi daging beberapa binatang tertentu, tapi perlu diingat bahwa hal ini tidak menghalalkan pembantaian secara kejam dan tak tekendali terhadap mereka. Dalam hubungannya dengan ayat (b) dan (c), kita harus ingat bahwa orang-orang Arab di masa lalu sepenuhnya bergantung pada binatang, misalnya unta, yang membantu membawa barang-barang mereka untuk diperdagangkan ke tempat-tempat jauh. Walaupun begitu, Nabi SAW., memperingatkan agar hewan-hewan pengangkut semacam itu diperlakukan dengan baik selama di perjalanan. Entah legal ataupun tidak, acara adu domba sebenarnya adalah acara yang kontroversial, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sekaligus negara dengan muslim terbanyak di dunia, seharusnya mencerminkan perilaku muslim yang sesungguhnya, walaupun kenyataan sebenarnya penduduk Indonesia melakukan adu binatang-binatang yang tak bersalah seperti domba hingga sekarang.

Tradisi mengadu hewan sebagai tontonan amat umum dilakukan masyarakat tradisional di Indonesia. Mulai dari adu ayam hingga adu balapan sapi bisa ditemui di beberapa daerah. Di daerah pesisir Selatan Jawa Barat juga dikenal adanya permainan yang disebut dengan adu bagong. Bagong adalah istilah lain untuk menyebut babi hutan. Dalam permainan ini babi diadu dengan anjing peliharaan masyarakat. Pertarungan hidup mati antara babi dan anjing ini disebut sudah ada sejak sekitar tahun 1960-an. Berawal dari keluhan masyarakat sekitar yang perkebunannya rusak akibat hama babi hutan, wargapun menggelar perburuan dengan bantuan kawanan anjing. Atas pengalaman itu, masyarakat menjadi terbiasa melihat perkelahian antara anjing dan babi hutan. Kebiasan ini akhirnya membawa pertandingan itu ke dalam arena khusus. Konon di arena ini ada pula yang mengatakan adu bagong bahkan dilakukan antara babi dengan pendekar jawara.
Atas nama melestarikan kesenian daerah, kebiasaan mengadu hewan masih dipertahankan hingga sekarang, padahal mengadu binatang adalah perilaku yang tidak hewani dan bisa dikatakan biadab, amoral, dll. Kita ambil contoh lain, adu bagong dan anjing entah dimana tempatnya, yang jelas satu bagong dikeroyok oleh beberapa anjing hingga mati. Malah tak jarang adu binatang yang berkedok kesenian ini pun dijadikan ajang taruhan atau judi, memang tidak secara gamblang para petaruh menggelontorkan uangnya di depan umum, tapi mereka melakukan secata rapi.
Apabila ditinjau lebih dalam, permasalahan adu mengadu binatang sangat melanggar hukum. Seperti di acara kriminal televisi, tidak jarang polisi membubarkan arena sabung ayam. Tetapi ada yang mengatakan bahwa apabila itu menyangkut tradisi dan budaya daerah tertentu, tidak bisa kita katakan sadis. Sebab tradisi atau budaya tertentu pada komunitas tertentu memiliki keunikan dan latar belakang tersendiri.[19]


KESIMPULAN
Perlombaan hukumnya berubah-ubah, bisa sunnat, mubah bisa pula haram, tergantung pada niatnya. Dan lomba dengan pemungutan uang dari peserta hukumnya tidak boleh sama hukumnya dengan berjudi atau Qimar. Sedangkan apabila perlombaan tersebut dengan menyertakan salah seorang peserta yang tidak dipungut biaya maka hukumnya boleh (halal), artinya dengan adanya Muhallil (peserta yang tidak dipungut biaya).
Pada hakikatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah swt. menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini. Atas nama melestarikan kesenian daerah, kebiasaan mengadu hewan masih dipertahankan hingga sekarang, padahal mengadu binatang adalah perilaku yang tidak hewani dan bisa dikatakan biadab, amoral, dll.

PENUTUP
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Demikianlah makalah ini kami susun, semoga dapat bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan kita semua. Tak ada gading yang tak retak, cukuplah mewakili hasil kerja kami. Oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Bajuri, Syekh Ibrahim,  Al-Bajuri ‘ala Fathil Qorib, Juz II, Semarang: Toha Putra, t. th.
Al-Syarbiniy, Khatib, Mughnil Muhtaj Syarah Minhajuth Thalibin, Juz IV, Dar Al-Fikr, t. th.
Fathi bin Abd Al-Muqtadir, bin Ibrahim, Uang Haram, Terj. Ahmad Khotib, dkk., Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006.
Hajar Asqalany, Ibnu Al-Hafidh, Bulughul Maram, Makkah: Al-Haramain, t. th.
Mahfud, Sahal, Ahkamul Fuqaha, Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jogjakarta: P.P. Muhammadiyah, 1971.
Qarni, al-Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet. ke-27, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1994.
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, vol. VII, Cairo: Darul Manar, 1339.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunah, Juz 2, Andalusia: Al-Adyan, 1990.
Salim Baabashal, bin Muhammad, Is’adur Rafiq Syarah Sullamut Taufiq, Juz II, Semarang: Toha Putra, t. th.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008.



No comments:

Post a Comment