DIAM MATI PERLAHAN,
ATAU BERGERAK MENGHADAPI KEMATIAN
UNTUK HIDUP
Di sebuah rumah dengan tekstur
bangunan kuno terjadi perdebatan antara orang yang mau merdeka dan orang yang
merasa sudah merdeka. mereka merencanakan bagaimana caranya mereka agar terlepas
dari cengkrama penguasa tanah air mereka. agar mereka jadi pemain dalam
panggung mereka bukan jadi penonton yang dipaksa untuk ketawa, dipaksa untuk
memberi tanggapan bagus atas lakon mereka yang padahal hati mereka teriris
perih dan ingin cepat mengeluarkan orang asing itu dan diisi oleh mereka
sendiri pemilik panggung tanah air ini.
Pak kiayi :
“Selama
ini, selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun kita jadi tamu di di tanah sendiri,
kita jadi penonton di acara kita sendiri, lakon kita di ambil alih oleh orang
lain. Kita harus bergerak, kita tidak boleh mari kutu menyaksikan gelagak tawa
para lakon itu dan kita terpaksa ikut tawa padahal hati kita menangis, kita
harus dan akan maju berjalan sampai kaki berdarah, sampai keringat tak lagi
menetes. Allah hu Akbar…………!!!”
“Allahu Akhbar……………!!!”, serentak
semua orang mengucapkannya.
Herman:
“Betul kata pak kiyai, kita harus
bertindak secepatnya. Tapi kita akan main cantik, jangan sampai mata mereka
sampai mendahului kita”.
Ahari :
“Sabar,
sabarlah dulu pak kiyai, bapa-bapa. Kita tidak berlu cape – cape bertindak
secepat ini yang hanya akan menumpahkan darah atau mati satu per satu. Lihatlah
mereka mulai baik terhadap kita, kita tinggal turuti kemauan mereka, maka
merekapun akan turuti kemauan kita”.
Herman :
“Itu karna
kamu bekerja dengan mereka!”
Herman
membentak Ahari sambil menunjukanya. Semua
orang yang hadir seketika diam. Keadaan hening
Herman:
“Itu
karna kamu digaji sama mereka, Semetara masih banya orang-orang disekitar kita
yang nangis kelaparan, Tak pernahkah kau memikirkan Saudara kita, sekeliling
kita. Kau hanya memetingkan dirimu
sendiri !!!”
Ahari :
“Bukankah
kau juga bekerja untukmereka?”
Ahari menjawab dengan nada rendah.
Herman :
“Ya,
memang. Memang betul saya bekerja untuk Mereka, tapi itu dulu. Setelah aku
masuk sel tahanan karena membantu paman Chun ketika aku bebas aku pulang aku
tidak lagi mau berlama-lama mengikuti aliran sungai yang justru menghanyutkan
saudaraku menghanyutkan kita semua. Aku bekerja untuk mereka bukan untuk hidup
enak, bukan untuk uang. Tapi aku bekerja agar aku bisa mempelajari apa yang
mereka lakukan apa yang mereka pelajari”.
Tegas herman.
Ahari :
“Itu
hanya alas an kamu saja kan? Kau sebenarnya betah bukan bergabung dengan
mereka. Makan enak tidur nyenyak, kau jangan bohong Herman”.
Ahari nyeleneh dengan memasang muka
jutek dan tidak enak bila dipandang
Herman :
“Kau
yang pembohong..! kau penghianat..! kau lebih memilih untuk ikut orang asing
daripada saudaramu sendiri. dimana hatimu…!”
Herman menjawab dengan nada tinggi,
emosinya mulai naik
Pak kiyai :
“Sudah,
sudah, sudah, stop. Pertengkaran kalian hanya akan membuan suasana semakin
gaduh saja. Untuk saat ini ga penting siapa kita, tidak penting posisi kita.
Karena yang terpenting bagaimana caranya membentuk rasa kesatuan dan rasa persaudaraan.
Jangan sampe kita justru terpecah belah”.
Pak kiyai mencoba menenangkan
perdebatan Herman dan Ahari.
Herman :
“Iya
pak kiyai. Tapi orang macam dia yang akan memecah kita. Dia penghianat atas
saudaranya sendiri, dia minum dan makan darah kita”.
Pak kiyai :
“Ahari…
sebaiknya kau berpikir sebelum bicara, sebelum bertindak. Ini tanah air kita, apa
kau tidak pernah berpikir bahwa selama ini kita telah diperbudak, kita membajak
sawah bagai disawah milik kita yang hasilnya bukan untuk kita nikmati. Apa kau
tidak membuka matamu kita bagai hewan yang bekerja tapi hanya dikasih rumput”.
Ahari :
“Tapi pak
kiyai. Perlawanan kita hanya akan sia-sia, kita tidak punya kekuatan”.
Ahari seolah tidak peduli dengan
nasihat pak kiyai, justru menyangkalnya.
Pak kiyai :
“Itu
artinya kau menyerah sebelum berperang. Kita memang tidak punya kekuatan tapi
apa kau mau kita selamanya ditindas. Kekuatan kita adalah persatuan batin dan
rasa senasib, kita kuat jika kita mau, kita kuat jika kita satu misi. Kau
berpikir terlalu dangkal”.
Tegas pak kiyai dengan serius, tapi
tetap tenang.
Herman :
“Sebaiknya
kau pergi dari sini Ahari…!”
Amarah herman kian menjadi jadi
kepada ahari, tapi ahari tetap seperti orang yang tuli.
Dia tidak mendengar semua nasihat
pak kiyai
Ahari :
“Apa hakmu
mengusir saya, kamu siapa disini?”
Mendengar
perkataan itu Herman sangat kesal dan marah, tapi dia tetap sabar menahan
emosinya, padahal rasanya ingin menghajarnya sampai habis.
Herman :
“Kau
bener-bener sudah gila Ahari. Apa maumu?”
Ahari :
“Kau
tanya apa mauku, itu pertanyaan bagus Herman. Ya jelas aku mau hidup enak,
hidup lebih layak. Tidak seperti kalian yang berpikiran bodoh justru akan
merugikan kita semua”.
Dengan santainya ahari menjawab
Pak kiyai :
“Masya
Allah, Ahari kau ini bicara apa? Hah.! Justru kau yang bodoh, kau tidak sadar
kalau kau sedang diperbodoh. Kita bertindak bukan untuk mengorbankan anggota
diantara kita, justru kita berusaha menyelamatkan semua masyarakat kita”.
Herman :
“Pak kiyai betul, sebaiknya kau
pergi..!”
Akhirnya
emosi herman memuncak dan sejurus kemudian Herman menyerang Ahari sambil
berkata “Bajingan kau, pergi kau dan jangan pernah kembali”
Seketika
itu pula Ahari ketakutan melihat aksi herman dan Ahari pun terbirit-birit
pergi.
Herman :
“Kalau saja Ahari tidak pergi sudah
kuhabisi dia”
“Tenanglah
Herman, sabar jangan hiraukan dia, masih banyak persoalan yang mesti kita
rundingkan”. Kata salah seorang pria setengah baya yang tadinya duduk dekat
Ahari.
Herman duduk kembali disamping pak
kiyai, dan meneruskan perbincangan mereka
Herman :
“Pak kiyai, saya takut Ahari
membocorkan rencana kita. Seperti yang kita ketahui sifatnya seperti apa”
Mengingat
Ahari, Herman cemas jika Ahari akan laporan kepada mereka atasannya.
Pak kiyai :
“Mudah-mudahan tidak, kita berdoa
saja. Kalaupun iya suatu saat dia sendiri yang akan menanggung akibatnya”
BERSAMBUNG……………………………………….
No comments:
Post a Comment