Adi Cahaya

Belajar Bahasa dan Sastra

LightBlog

Breaking

Thursday, 19 October 2017

Makaah sejarah sastra angkatan 70an


Latar Belakang Munculnya Sastra Indonesia Angkatan 70-an
        Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda. Menurut Dami angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri. Dalam angkatan 70-an mulai bergesernya sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi , prosa maupun drama.
Pengarang yang dapat dikelompokan ke dalam akangkatan 70 adalah: Iwan Simatupang, W. S. Rendra, Sutarji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dan lain-lain. Pengarang yang disebut sebagai Angkatan 70 ini ada yang sudah tergolongkan juga pada masa-masa sebelumnya. Hal inilah yang menandakan bahwa karya mereka terus berkembang.
 MEDIA
Pada masa 70 –an para penulis menggunakan media buku , majalah , maupun koran untuk mempublikasikan karya – karya nya . sebagai contoh , sutarji mempublikasikan karyanya berupa puisi , dan cerpen di koran harian , begitu pula mangun wijaya yang mempublikasikan novel khotbah di atas bukan sebagai cerita bersambung di koran sebelum mempublikasikannya dalam media buku.
Pada masa kini bahkan dimungkinkan untuk mempublikasikan karya sastra menggunakan media elektronik : televisi dan internet
CIRI – CIRI angkatan 70an
Pada masa ini para pengarang sangat bebas berkesperimen dalam penggunaan bahasa dan bentuk , seperti dikatakan ajip rosidi ( 1977; 6) dalam laut biru langit biru bahwa mereka seakan – akan menjajaki sampai batas kemungkinan bahasa indonesia sebagai alat pengucapan sastra , disamping mencoba batasa – batas kemungkinan berbagai bentuk , baik prosa maupun puisi ,sehingga perbedaan antara prosa dan puisi kian tidak jelas.
1. PUISI
Struktur fisik
Puisi bergaya mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa : ulangan ,
kata , frase atau kalimat .
•       Gaya bahasa paraleisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk memperoleh efek yang sebesar – besarnya serta menonjolkan tipografi
•       Puisi kongret sebagai eksperimen
•       Banyak menggunakan kata – kata daerah untuk memberi kesan ekspresif
•       Banyak menggunakan permainan bunyi
•       Gaya penulisan yang prosais
•         Menggunakan kata yang sebelumnya tabu
Struktur Tematik
•        Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi
•         Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subyek dan bukan obyek pembangunan
•       Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistik
•       Ceritadan pelukisan bersifat alegoris dan parabel
•       Perjuangan hak – hak asasi manusia , kebebasan , persamaan , pemeratan dan terhindar dari pencemaran teknologi modern
•       Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewqenag – wenang terhadap mereka yang lemah dan kritik terhadap penyeleweng


2. PROSA DAN DRAMA
Struktur fisik
Melepaskan ciri konvensional , menggunakan pola sastra ” absurd ” dalam tema , alur , tokoh maupun latar. Menampakkan ciri latar kedaeraan ” warna lokal ”.
Struktur Tematik
Sosial : politik , kemiskinan ,Kejiwaan ,Metafisik

Sastrawan dan Karya Sastra Angkatan 70-an


1.Putu Wijaya
a)   Orang-orang Mandiri (drama);
b)   Lautan Bernyanyi (drama);
c)   Telegram (novel);
d)  Aduh (drama);
e)   Pabrik (novel);
f)    Stasiun (novel);
g)   Hah (novel);
h)   Keok (novel);
i)     Anu (drama);
j)     MS (novel);
k)   Sobat (novel);
l)     Tak Cukup Sedih (novel);
m) Dadaku adalah perisaiku (kumupulan sajak);
n)   Ratu (novel);
o)   Edan (novel);
p)   Bom (kumpulan cerpen).
2.Iwan Simatupang
a)   Merahnya Merah (roman);
b)   Kering (roman);
c)   Ziarah (roman);
d)  Kooong (roman);
3. Danarto
a)    Godolb (kumpulan cerpen);
b)   Obrok owok-owok, Ebrek ewek-ewek (drama);
c)    Adam ma’rifat (kumpulan cerpen);
d)   Berhala;
e)    Orang Jawa Naik Haji (1984);
f)    Bel Geduwel Beh (1976)
4. Budi Darma
a)    Solilokui (kumpulan essai);
b)   Olenka (novel);
c)    Orang-orang Bloomington (kumpulan cerpen);
5. Sutardji Calzoum Bachri
a)    (kumpulan sajak);
b)   Amuk ( kumpulan sajak);
c)    Kapak (kumpulan sajak).
6.  Arifin C. Noer
a)    Kapai-kapai (drama);
b)   Kasir Kita (drama satu babak);
c)    Orkes Madun (drama);
d)   Selamat Pagi, Jajang (kumpulan sajak);
e)    Sumur tanpa dasar (drama);
f)    Tengul (drama).
7. Darmanto Jatman
a)    Sajak-sajak Putih (kumpulan sajak);
b)   Dalam Kejaran Waktu (novel);
c)    Bangsat (kumpulan sajak);
d)   Sang Darmanto (kumpulan sajak);
e)    Ki Balaka Suta (kumpulan sajak).
8. Linus Suryadi
a)    Langit Kelabu (kumpulan sajak);
b)   Pengakuan Pariyem (novel)
c)    Syair-syair dari Jogja (kumpulan sajak);
d)   Perang Troya (cerita anak);
e)    Dari Desa ke Kota (kumpulan essai);
f)    Perkutut Manggung (kumpulan sajak)
g)   Gerhana Bulan (kumpulan sajak).





Karya puisi W.S Rendra
”DENGAN KASIH SAYANG”
Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairahpada darah
Jangan !
Jangan dibunuh para lintah darat
Ciumlah mesra anak janda tak berayah
Dan sumbatlah jarimu pada mulut peletupan
kena darah para bajak dan perombak
akan mudah mendidih oleh pelor
mereka bukan tapir atau badak
hatinyapun berurusan cinta kasih
seperti jendela terbuka bagai angi sejuk¡
kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak
Lahiriah yang terlalu banyak meminta !
Terhadap sajak yang paling utopis
 Bacalah dengan senyuman yang sabar
Jangan dibenci para pembunuh
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri
Kere – ker jangan mengemis lagi
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih

Karya puisi Sutardji Calzoum Bachri
 ’POT”
Pot apa pot itu pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
Potapa potitu potkaukah potaku
 POT



ANGKATAN 80-AN
LATAR BELAKANG MUNCULNYA ANGKATAN ‘80-AN
    Kelahiran karya sastra angkatan 80-an bersifat mendobrak keberadaan. Dilahirkan dari konsepsi individual yang mengacu pada satu wawasan kelompok.  Konsep tersebut telah menitik beratkan pada kata, tetapi Danarto justru tetap pada pendirianya. Hal ini sangat menarik dan membawa pada pemikiran yang lain dalam wawasan yang estetik periode 80-an. Dimana pada priode sebelumnya telah terjadi pergeseran wawasan dan pergeseran estetik khususnya pada kata. Dasar tersebut menyebabkan lahirnya periode 80-an menekankan pada pemikiran dan cara penyampaian dalam karya sastra. Periode 80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat Indonesia untuk menuju kehidupanya yang baru dengan wawasan konstusional. Periode 80-an lahir dari konsepsi improvisasi dalam penggarapan karya sastra menuju hasil dan bobot maksimal serta baru dari konsep yang menentang pada satu kehidupan.

KARAKTERISTIK KARYA SASTRA ANGKATAN ‘80-AN
Ø  Genre yang muncul prosa, puisi, drama, sajak, film, kritik, dan esai.
Ø  Pada sajak cenderung mengangkat tema tentang ketuhanan dan mistikisme.
Ø  Puisi yang dihasilkan bercorak spiritual religius. Misalnya “Kubakar Cintaku“ karya Emba Ainun Najib.
Ø  Novel yang dihasilkan mendapat pengaruh kuat dari budaya barat, dimana tokoh utamanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur dan mengalahkan tokoh antagonisnya.
Ø  Bahasa yang digunakan realistis, bahasa yang ada di masyarakat dan romantis.
Ø  Karya sastra yang dihasilkan mengangkat masalah konsep kehidupan sosial masyarakat yang memuat kritik sosial, politik, dan budaya.
Ø  Para sastrawan menggunakan konsep improvisasi.
Ø  Dalam karya sastra terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya.

SASTRAWAN ANGKATAN ‘80-AN DAN HASIL KARYA SASTRANYA
•       Ahmadun Yosi Herfanda
–      Ladang Hijau (1980)
–      Sajak Penari (1990)
–      Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
–      Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
–      Sembahyang Rumputan (1997)
•       Y. B. Mangunwijaya
–      Burung-burung Manyar (1981)
•       Darman Moenir
–      Bako (1983)
–      Dendang (1988)

KARYA SASTRA KARYA Y. B. Mangunwijaya
Judul: Burung-Burung Manyar
Pengarang: Y. B. Mangunwijaya
Penerbit: Djambatan
Cetakan: II, 1981
Halaman: vi+261

Setiap beberapa bulan sekali, saat ada bom meledak, Manohara kabur dari Malaysia, meninggalnya seorang tokoh nasional, atau ‘sekedar’ tujuh belas agustusan, kita diingatkan akan betapa penting dan mulianya mencintai tanah yang bernama Indonesia ini. Dan saya teringat Teto.
Adakah yang mencintai Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena kita semua pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk dijawab. Apa itu cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam peralihan. Bapaknya Jawa yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands Indisch Leger asli lulusan Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak yakin karena Mami “sangat cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin” (hal. 5). Ketika Jepang masuk, dunia-serba-gemilang anak kolong Teto berantakan. Ia benci Jepang, terlebih ketika Mami dijebak jadi gundik tentara Jepang demi menyelamatkan nyawa Papi. Dan Jepang menjelma jadi Indonesia merdeka. Teto memilih masuk KNIL, berperang melawan kaum republik. Celakanya, gadis pujaannya, Atik, ada di pihak ‘sana’, Indonesia.
Tapi apakah Teto tidak cinta Indonesia? Jangan kacaukan keinginan Teto supaya Belanda tetap bercokol di Indonesia dengan kebencian. Itu sama saja dengan Teto yang mengacaukan gerakan Indonesia merdeka dengan bungkuk pada perintah fasis Jepang. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang karena durian yang jatuh karena sudah matang (hal. 89).”

Dalam roman Burung-burung Manyar, Romo Mangun dengan bahasa yang aduhai luwes-lincah dan terkadang menggelitik, menyampaikan mimpinya tentang Indonesia. Bukan melalui Atik, yang menggebu-gebu, yang terbuai dengan kata-kata Soekarno. Justru melalui Teto, yang skeptis namun hormat tergagu di depan Syahrir. Sebuah Indonesia yang bukan bangsa kuli atau teroris, melainkan bangsa yang cendekia dan menjunjung elan kemanusiaan. Walaupun, diakui saja, menyimpan keragaman nyaris ironi di mana “yang putih dan halus rupa-rupanya (di sini) bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk (hal. 154)”.

No comments:

Post a Comment